Minggu, 06 Maret 2011

mazhab shahabi

A.    PENGERTIAN MAZHAB SHAHABI
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW tentang suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. [1]
Sedangkan menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri menunjuk pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimanan pendapat para sahabat tersebut nerupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan mazhab shahabi merupakan pendapat bersama. [2]

Namun ada juga pendapat lain yang memberikan defenisi mazhab shahabi tersebut. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perorangan. maksudnya adalah bahwa fatwah itu adalah mengandung suatu keterangan atau penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. Namun perbedaan pengertian ini tidaklah harus kita jadikan sebagai permasalahan, karena dari beberapa defenisi diatas tentang mazhab shahabi itu adalah mengarah pada pengertian yang sama, hanya saja pengunaan bahasa yang sedikit berbeda. Oleh karena itu perbedaan pengertian yang ada hanyalah sebuah tujuan penulis untuk mempermudah pembaca, agar lebih mudah untuk diapahami. [3]


Baik juga disebutkan, terdapat perbedaan pengertian antara jumhur ulama ushul fiqh dan jumhur ulam hadist tentang yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah. Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan sahabat ialah, setiap orang mukmin yang bertemu dengan Rasulullah, wafat dalam keadaan mukmin dan bergaul dengan beliau dalam waktu yang lama. Sedangkan menurut jumhur ulama hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang mukmin yang bertemu dengan Rasulullah dan wafat dalam keadaan mukmin, baik pergaulan mereka tersebut dalam waktu yang lama maupun sebentar. Sejarah membuktikan,qaul ash shahabi merupakan rujukan hukum mengenai peristiwa- peristiwa hukum yang baru terjadi setelah wafatnya Rasulullah, yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi harus dikatakan sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat, tidak semua sahabat ahli dalam hukum islam. Bakat dan keahlianya pun berbeda-beda. Sebagian sahabat mendalami dan menekuni masalah-masalah hukum, sehingga tidaklah mengherankan, jika sebagian sahabat populer dengan fatwa-fatwa hukumnya. [4]

Muhammad ;Ajjaj al-Khatib ahli hadist berkebangsaan syiria, dalam karyanya ushul al-hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimbah ilmu dari Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum islam. [5]

Menurut Ulama hadits yang disebut sahabat yaitu orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan wafat dalam keadaan islam. Menurut pandangan ahli ushul fiqh yang disebut sahabat ialah orang yang pernah bertemu Nabi dan beriman kepadanya serta menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang panjang. Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menambah persyaratan untuk disebut sahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu pada dirirnya terdapat bakat  atau bawaan (malakah)dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabi dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).[6]
B.     KEHUJJAHAN MAZHAB SHAHABI
Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu;
Pembahasan dari kehujjahannya terhadap sesame sahabt lain, dan kehujjahannya terdapat generasi berikutnya atau oaring yang selain sahabat. Pembahasan dari segi bentuk mazhab shahabi dapat dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Beberapa diantaranya yaitu;
Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara qath’I berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).
Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq, tenetang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pwndapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainya, baik ia seorang imam,hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini di nukilkan oleh dua pakar ushul fiqh, yaitu; Ibn Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan beberapa argumen. [7]
Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab, dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari rasulullah. [8]


Para ulam juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuna hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi) baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih) maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang  (ijma’ as-sukuti) yang dalam istialh lain disebut dengan mazhab ash-shahabi, misalnya :bagian warisan nenek perempuan adalah seperenam harta warisan. Sebaliknnya, para ulam juga sepakat, bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah menunjukan dikalangan sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu. Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi. Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in dan generasi berikutnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama diantaranya yaitu; Menurut jumhur ulama, yaitu ulama Hanfiyyah, Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qadim) dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi merupakan hujjah. Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut : Firman Allah SWT pada suarah Ali Imran (3): 110 yang berbunyi :
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
Artinya :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Ayat ini ditujukan kepada sahabt, sehingga menunjukan bahwa apa yang mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima. [9]
1.      Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yan berbunyi : “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”. [10]
Dari segi alasasn logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah  karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan persyariatan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau,dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-adalah), yang sangat sulit diterima, menurut kebiasaan, jika melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’. [11]
Dalam beberapa literature  ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat itu adalah secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberpa pendapat mereka adalah sebagai berikut :
1.      Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah lia lahir dari Abu Bakar dan ‘Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang menyatakan “ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar”. Hadits ini dinyatakan hasan al-Tarmidzi.
2.      Pendapat dari empat orang Khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat lainya. Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh al-Tarmidzi; “adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa al-Rasyidin yang datang sesudahku”.
3.      Pendapat selain Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi’i. tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya disbandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukanya ke khulafa dan waktu itu para sahabat yang bisa menjadi nara sumber bagi khalifah dalam forum musyawarah  pada masa sebelum ‘Ali sudah tidak ada lagi. [12]
4.      Pendapat sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Rasulullah menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid bin Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris);Muaz ibn Jabal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali Abi Thalib dalam masalah peradilan. Dikalangan ulama yang menerima kehujjahan pendapat sahabat secara mutlak muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas. Ulama yang berpendapat bahwa sahabat itu menjadi hujjah dan berada diatas qiyas, sehingga kalau terjadi pembenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah pendapat sahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini, bila ada dua pendapat yang berada dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana penyelesaiannya dua dalil yang bertentangan yaitu melalui tarjih (mencari dalil yang terkuat).   
5.      Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah, namun kedudukanya dibawah qiyas dan bila terjadi pembenturan antara keduanya maka harus didahulukan qiyas atas pendapat sahabat. Berdasarkan pendapat kedua diatas, apakah pendapat sahabat itu dapat digunakan untuk mentakhsis umunya dalil lafaz suatu hukum? Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat yaitu: Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umunya dalil, sebagaimana berlaku terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hujjah.

Ulama lainya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum. Dikalangan ulama yang menolak kehujjahan mazhab shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang (generasi) sesudah sahabat boleh bertaqlid kepada sahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat yaitu: (1) Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional, bahwa bila orang boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid sesudah sahabat, tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujatahid sahabat.   (2) Qaul qadim (pendapat lama)dari al-Syafi’I mengatkan boleh  bertaqlid kepada sahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun belum dibukukan.


[1] Prof.Dr.H.Satria Effendi,M.Zein,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta;Kencana,2009),Cet.3,h.169
[2] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta;Amzah,2010),Cet.1,h.225
[3] Prof.Dr.H.Amir syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta;Kencana,2008),Cet.4,h.378
[4] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta;Amzah,2010),Cet.1,h.225
[5] Prof.Dr.H.Satria Effendi,M.Zein,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta;Kencana,2009),Cet.3,h.169
[6] Prof.Dr.H.Amir syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta;Kencana,2008),Cet.4,h.378

[7] Prof.Dr.H.Amir syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta;Kencana,2008),Cet.4,h.381
[8] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta;Amzah,2010),Cet.1,h.226
[9] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta;Amzah,2010),Cet.1,h.226
[10] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta;Amzah,2010),Cet.1,h.225
[11] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta;Amzah,2010),Cet.1,h.228
[12] Prof.Dr.H.Amir syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta;Kencana,2008),Cet.4,h.385

Pelaksanaan Al-Qur’an dalam Model Struktur Imamah Wal jama’ah

Dalam mengerjakan segala apa-apa yang diperintahkan Allah swt, maka kita harus menggunakan kemampuan yang kita miliki dengan maksimal.  Tujuannya adalah agar kita mendapatkan  kemenangan yang gemilang yaitu mendapatkan ridha Allah swt. Namun itu semua dapat kita raih jika kita mempunyai  kemauan yang besar. Memang tak semudah membalikkan telapak tanggan untuk melakukan segala perintah Allah swt. Rasulullah visioner peradapan islam dibumi Allah ini tentunya juga mendapatkan tantangan yang begitu hebatnya. Namun dengan keyakinan yang dimilki beliau maka beliau mendapatkan kemenangan yang gemilang. Maka sudah sepantasnyalah kita mengikuti jejak-jejak langkah baginda rasulullah saw. Dengan menggunkan manhaj yang digunakan oleh rasulullah yaitu mengamalkan segala apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an  maka mustahil kita tidak dapat menegakkan peradapan islam dibumi Allah ini. Tentunya kita sudah mengetahui apa yang Apa yang dimaksud dengan golongan Ahlussunnah wal jamaah? meminjam defenisi yang di uraikan oleh Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya “Al-Kawakib al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaahmenyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Juga mengambil defenisi dari perkataan Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80 mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan assunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Khulafa’ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah “.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرقت النصارى الى إثنين وسبعين فرقة ، وتفرقت أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في النار الاّ واحدة ، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : هم الذي على الذي أنا عليه وأصحابي . رواه أبو داود والترميذي وابن ماجه
Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:
عن عبد الرحمن بن عمرو السلمي أنه سمع العرباض بن سارية قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: فعليكم بما عرفتم من سنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. رواه احمد
“Dari ‘Abdurrahman bin ‘Amr as-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al- Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah SAW menasehati kami: kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku al-khulafa’ar-Rosyidin yang mendapat petunjuk.’’ HR.Ahmad.
Adapun strategi  yang dapat kita laksanakan dalam penerapan Strategi Pelaksanaan Al-Qur’an dalam Model Struktur Imamah Wal jama’ah maka hal yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan manhaj yang digunakan rsulullah saw yaitu:
1.      Mengamalkan surah Al-Alaq yaitu menggugah kesadaran dengan Al-Alaq.
2.      Mengamalkan surah Al-Qalam yaitu meniti jalan kehidupan ini dengan Al-Qalam.
3.      Mengamalkan surah Al-Muzzammil yaitu membentuk watak dan kepribadian dengan Al-Muzzammil.
4.      Mengamalkan surah Al-Mudatsir yaitu menyatukan langkah.
5.      Mengamalkan Al-Fatihah yaitu dengan berislam kaffah.
Dengan mengamalkan dan menjadikan manhaj rasulullah sebagai Strategi Pelaksanaan Al-Qur’an dalam Model Struktur Imamah Wal jama’ah maka tiada kata mustahil kita dapat menggapai kemenangan yaitu dengan tegaknya peradapan islam dibumi Allah ini.  Maka dari itu, tinggal bagaimana kita menerapkan sistematika nuzulnya wahyu sebagai konsep hidup dan kehidupan dalam menggapai ridah Allah swt.